Ganti Kalimat Interogasi dengan Observasi, Ganti Kalimat Menolak/Melarang dengan Empati
Bismillah,
Sewaktu kami, (saya, suami dan K) berkumpul untuk makan siang bersama, K terlihat sangat antusias, bersemangat dan bergembira. Mungkin karena selama ini, K lebih sering makan siang bersama saya atau Mbahnya saja, kali ini semakin lengkap karena ada ayahnya. K tampak lebih banyak senyum, lompat-lompat ceria dan banyak ajak ayahnya bercanda. Makanlah kami bersama. Baru dapat beberapa suap nasi, tiba-tiba K berdiri dari duduknya dan berlari menghampiri sepedanya. Dengan cepat ia langsung bersepeda di dalam rumah, keliling ke sana kemari. Seketika sudah ingin teriak, tapi saya tahaaan… Dalam hati bilang, woleeesss…ngadepin balita kudu banyak woleeesss...yang sabaaar… 😀
Sambil senyum-senyum (yang diupayakan terus ramah) terjadilah percakapan kecil kami:
Saya: “Anak U…ayoo makan dulu, dihabisin dulu, baru sepedaan…”
K tampak memandangi mata saya, namun terus melajukan sepedanya. Jadi sepeda K yang dipakai itu, berwarna putih, berjenis balance bike, yang mana tidak ada pedal. Jadi pergerakannya, murni dengan kedua kaki yang digerak-gerakkan/dihentak-hentakkan (seperti mendayung) ke lantai. Sepeda jenis ini memang masih langka di Indonesia dan baru mulai populer sekitar tiga tahun terakhir. Kami sengaja membelikan K sepeda jenis ini, untuk belajar keseimbangan, percaya diri, melatih fokus dan motorik kasar. Kami memberinya itu, saat usia sudah mencapai 2 tahun. Harapannya kelak tidak perlu belajar pakai sepeda yang ada roda bantunya. Ternyata sampai usia 3,5 tahun, sepeda normal yang terkecil pun kaki K belum sempurna menyentuh lantai. Jadilah itu balance bike, sepeda favoritnya. Dipakainya sepeda itu keliling dalam rumah, teras rumah, halaman bahkan sampai jalanan. Ya, meskipun kalau dari luar rumah, si roda selalu dicuci, tetap aja, jalan utama si sepeda ya di jalan, bukan dalam rumah.
Di ruang kami makan, kebetulan tadi siang kami tidak makan di ruang makan, melainkan di ruang tv rumah mertua, yang ada satu set kursi dan satu kasur jenis per rendah. Baiklah, itu sedikit intermezo tentang sepeda dan juga ruang makan kami. Sekarang, yuuk balik lagi ke cerita kami yang tadi.
Alih-alih menghentikan sepedanya, anak K malah semakin bersemangat bersepeda ke segala penjuru arah ruang. Saya dan Ayah K hanya tersenyum-senyum, sambil kadang sedikit geleng-geleng. Dan yang mencengangkan, K melajukan sepedanya di atas kasur yang ada di ruang tersebut. MaasyaAllah, uwooow…. Betapa gemes kami tu…tetapi teteeeepp.. ini lagi belajar menaklukkan tantangan. Bagaimana tetap menggunakan kalimat-kalimat yang baik, yang memungkinkan terjadinya komunikasi produktif seperti yang diajarkan di kelas Bunsay kami.
Saya: “MaasyaAllah, waah asyiiik ya Mas…jalannya jadi empuk banget..”
Eeee…baru saya bilang begitu, dia semakin bersemangat, dan akhirnya jatuh ke lantai, tapi K berkata,
“Nggak papa kok Bund, K khan sudah gede,”
Alhamdulillah. Kemudian saya berusaha mengganti kalimat interogasi dengan observasi kondisi K
Saya: “Enak ya Mas bisa bersepeda di kasur.. Roda nya bersih atau kotor yaa?”
K: “Bersih kok…”
Saya: “Coba dilihat, Sepedanya sudah jalan ke mana aja yaa? Jalan di dalam rumah, terus, di teras, terus di halaman, terus ke mana lagi yaa….?”
K: “Ke jalan, sanaa jauuh.”
Saya: “Nah, tu kira-kira rodanya bersih atau kotor yaa?”
K tetap pada pendiriannya: “Ya bersih..”
Sampai di situ, saya mulai berpikir lagi. Wahh apa bisa berhasil yaa… kok kayaknya mentok… Ahh masih bisa diusahakan. K masih bersepeda meski hanya di sekeliling kami, karena ia masih mau makan juga.
Saya: “Kalau Bunda sama Ayah, naik sepeda di jalan, atau di halaman. Kalau kasur untuk tidur Mas… bisa untuk duduk-duduk jugaa..buat istirahat.”
Lalu, tetiba Ayah K menimpali:
Ayah: “Kalau K naik sepeda ke atas kasur, berarti boboknya di jalan apa yaa…berarti bobonya di teras apa yaa… “
Saya pun, menimpali dengan ekspresi senyum-senyum dan tertawa, sedang mengobservasi kalimat Ayah berusaha berempati pada keinginan K yang bersepeda di atas kasur.
Saya: “Iya apa yaa…enak begitu apa yaaa…?”
Tidak lama kemudian K menjawab dengan nada sedikit keras..
K:”Nggak…nggak gituu…K boboknya di kasur… “
Saya:”Naah kalau boboknya di kasur, berarti bersepeda di jalan dong…di luar rumah kaan…”
Anak K diam seribu bahasa, hanya mringis-mringis tertawa kecil, sambil bersepeda mengelilingin ruangan kami. Saya dan ayah K juga tertawa-tawa kecil…
Dalam kondisi tersebut di atas. Sikap saya terhadap K, semampu mungkin tidak emosi terhadap perbuatannya yang belum sesuai aturan. Daripada memarahi dan menolak sikap dia, yang mungkin akan berujung pada pertentangan dan keributan, saya memilih untuk mencoba berempati pada pilihan sikap K. Pada dasarnya saya yakin, tentu ada sebab, ia tertarik melajukan sepedanya di atas kasur. Saya berpikir positif, ohh mungkin dia ingin mencoba hal baru. Oh, mungkin dia ingin merasakan sensasi lompat-lompat bersama sepeda di kasur, seperti naik trampolin dan lompat-lompat yang jadi kebiasaan dia.
Meskipun saya mencoba berempati, tetap saya harus mengarahkan K untuk berperilaku yang baik. Proses kemudian, yang bisa saya praktikkan adalah dengan menggunakan kalimat-kalimat observasi, mencari tahu, apa yang sedang terjadi, latar belakangnnya bagaimana, sampai dia memutuskan untuk bersepeda di atas kasur. Alih-alih menggunakan kalimat interogasi yang terkesan galak dan menantang, saya berupaya untuk bertanya dengan intonasi yang halus, dan ramah.
Cerita di atas, merupakan sepenggal cerita pendek dari kejadian tadi siang kami. Tentu saya belum bisa mengatakan komunikasi tersebut sangat produktif. Kegiatan komunikasi tersebut di atas baru satu proses untuk menuju komunikasi produktif, khususnya dalam menghadapi perkembangan pola pikir, dan aktivitas anak K. Semoga akan berhasil baik, dan menjadi komunikasi yang produktif.
Sampai di sini dulu kisah kami hari ini. Semoga esok akan jumpa lagi dengan kisah lain yang insyaAllah akan lebih menarik yaaaa,,, aamiin…
Barakallahu fiikum
Majenang, 25 Rajab 1440 H/ 1 April 2019
Share with love,
Khoirun Nisaa